istri sayang suami

Senin, 16 April 2012

@ Ayah......bolehkah nanda berpacaran......?

Mungkin ada diantara kita selaku orangtua yang tidak mampu bersikap tegas dalam menyampaikan ajaran Islam,terutama yang berhubungan dengan psikoseksual remaja. Kita 'malu' menyampaikan kebenaran, padahal ituadalah kewajiban kita untuk menyampaikannya dan hak mereka untuk mengetahuinya. 'Ayah, bolehkahberpacaran?' mungkin salah satu pertanyaan yang lambat laun akan menyergap kita. Salah satu jawaban yang cerdas, memuaskan dan tepat, mungkin dapat kita simak dari artikel di bawah ini.Semoga Allah SWT memudahkan kita untuk memberikan yang terbaik kepada putra-putri kita, yaitu pendidikanyang baik dan adab yang mulia.-------------------------------------------------------------Seorang ayah, bila ia mempunyai putra yang beranjak remaja, lambat atau cepat ia akan disergap oleh pertanyaanseperti ini: 'Ayah, bolehkah berpacaran?' Pengertian 'berpacaran' menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalahbercintaan, berkasih-kasihan.Sebagai Ayah yang baik, kita sudah seharusnya sejak jauh hari berusaha menyiapkan jawaban terhadappertanyaan-pertanyaan tak terduga seperti itu. Namun seringkali kita tidak siap dengan jawaban ketika pertanyaantadi terlontar dari mulut anak kita. Seorang ayah mempunyai posisi strategis. AYAH TIDAK SAJA MENJADIPEMIMPIN BAGI KELUARGANYA, SEORANG AYAH JUGA SEHARUSNYA BISA MENJADI TEMAN BAGI ANAK-ANAKNYA, MENJADI NARASUMBER DAN GURU BAGI ANAK-ANAKNYA.'Tiada pemberian seorang bapak terhadap anak-anaknya yang lebih baik dari pada (pendidikan) yang baik danadab yang mulia.' (HR At-Tirmidzy)'Barangsiapa yang mengabaikan pendidikan anak, maka ia telah berbuat jahat secara terang-terangan ..   


 IbnuQayyim.Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintaipertangungjawaban terhadap apa yang kamu pimpin. Seorang suami (ayah) adalah pemimpin bagi anggotakeluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang telah dipimpinnya atas mereka." (HR Muslim). Ada sebuah contoh yang datangnya dari keluarga Pak Syamsi. Ketika Iwan anak remajanya bertanya soalberpacaran, Pak Syamsi yang memang sudah sejak lama mempersiapkan diri, dengan santai memberikan jawabanseperti ini: 'Boleh nak, sejauh berpacaran yang dimaksud adalah sebagaimana yang terjadi antara Ayah danBunda' Pak Syamsi menjelaskan kepada Iwan, bahwa berpacaran adalah menjalin tali kasih, menjalin kasihsayang, dengan lawan jenis, untuk saling kenal-mengenal, untuk sama-sama memahami kebesaran Allah di balik tumbuhnya rasa kasih dan sayang itu. Oleh karena itu, berpacaran adalah ibadah. Dan SEBAGAI IBADAH,BERPACARAN HARUSLAH DILAKUKAN SESUAI DENGAN KETENTUAN ALLAH, YAITU DIDALAM LEMBAGA PERKAWINAN. 

Di dalam sebuah Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallambersabda: 'Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuanitu bersama mahramnya.' 'Di luar ketentuan tadi, maka yang sesungguhnya terjadi adalah perbuatan mendekatizina, suatu perbuatan keji dan terkutuk yang diharamkan ajaran Islam (Qs. 17:32). Allah SWT telah mengharamkan zina dan hal-hal yang bertendensi ke arah itu, termasuk berupa kata-kata (yang merangsang), berupa perbuatan-perbuatan tertentu (seperti membelai dan sebagainya).' Demikian penjelasan Pak Syamsi kepada Iwan anak remajanya."DI DALAM LEMBAGA PERKAWINAN, ANANDA BISA BERPACARAN DENGAN BEBAS DAN TENANG, BISA SALING MEMEMBELAI DAN MENGASIHI, BAHKAN LEBIH JAUH DARI ITU

Jumat, 23 Maret 2012

@ Nasehat Untuk Remaja Muslim

December 31, 2010 Kami persembahkan nasehat ini untuk saudara-saudara kami terkhusus para pemuda dan remaja muslim. Mudah-mudahan nasehat ini dapat membuka mata hati mereka sehingga mereka lebih tahu tentang siapa dirinya sebenarnya, apa kewajiban yang harus mereka tunaikan sebagai seorang muslim, agar mereka merasa bahwa masa muda ini tidak sepantasnya untuk diisi dengan perkara yang bisa melalaikan mereka dari mengingat Allah subhanahu wata’ala sebagai penciptanya, agar mereka tidak terus-menerus bergelimang ke dalam kehidupan dunia yang fana dan lupa akan negeri akhirat yang kekal abadi. Wahai para pemuda muslim, tidakkah kalian menginginkan kehidupan yang bahagia selamanya? Tidakkah kalian menginginkan jannah (surga) Allah subhanahu wata’ala yang luasnya seluas langit dan bumi? Ketahuilah, jannah Allah subhanahu wata’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya. Allah subhanahu wata’ala berfirman: ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185) Untuk Apa Kita Hidup di Dunia? Wahai para pemuda, ketahuilah, sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menciptakan kita bukan tanpa adanya tujuan. Bukan pula memberikan kita kesempatan untuk bersenang-senang saja, tetapi untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56) Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Itulah tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap hamba Allah. Dalam beribadah, kita dituntut untuk ikhlas dalam menjalankannya. Yaitu dengan beribadah semata-mata hanya mengharapkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Jangan beribadah karena terpaksa, atau karena gengsi terhadap orang-orang di sekitar kita. Apalagi beribadah dalam rangka agar dikatakan bahwa kita adalah orang-orang yang alim, kita adalah orang-orang shalih atau bentuk pujian dan sanjungan yang lain. Umurmu Tidak Akan Lama Lagi Wahai para pemuda, jangan sekali-kali terlintas di benak kalian: beribadah nanti saja kalau sudah tua, atau mumpung masih muda, gunakan untuk foya-foya. Ketahuilah, itu semua merupakan rayuan setan yang mengajak kita untuk menjadi teman mereka di An Nar (neraka). Tahukah kalian, kapan kalian akan dipanggil oleh Allah subhanahu wata’ala, berapa lama lagi kalian akan hidup di dunia ini? Jawabannya adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala: وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34) Wahai para pemuda, bertaqwalah kalian kepada Allah subhanahu wata’ala. Mungkin hari ini kalian sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang tertawa, berpesta, dan hura-hura menyambut tahun baru dengan berbagai bentuk maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, tetapi keesokan harinya kalian sudah berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang menangis menyaksikan jasad-jasad kalian dimasukkan ke liang lahad (kubur) yang sempit dan menyesakkan. Betapa celaka dan ruginya kita, apabila kita belum sempat beramal shalih. Padahal, pada saat itu amalan diri kita sajalah yang akan menjadi pendamping kita ketika menghadap Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua dari tiga hal tersebut akan kembali dan tinggal satu saja (yang mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali, dan tinggal amalannya (yang akan mengiringinya).” (Muttafaqun ‘Alaihi) Wahai para pemuda, takutlah kalian kepada adzab Allah subhanahu wata’ala. Sudah siapkah kalian dengan timbangan amal yang pasti akan kalian hadapi nanti. Sudah cukupkah amal yang kalian lakukan selama ini untuk menambah berat timbangan amal kebaikan. Betapa sengsaranya kita, ketika ternyata bobot timbangan kebaikan kita lebih ringan daripada timbangan kejelekan. Ingatlah akan firman Allah subhanahu wata’ala: فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُه(Ý) فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ(Þ) وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ(ß) فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ(à) وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ(Ø×) نَارٌ حَامِيَةٌ(ØØ) “Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al Qari’ah: 6-11) Bersegeralah dalam Beramal Wahai para pemuda, bersegeralah untuk beramal kebajikan, dirikanlah shalat dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena shalat adalah yang pertama kali akan dihisab nanti pada hari kiamat, sebagaimana sabdanya: “Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia dihisab dengannya di hari kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad. Lafazh hadits riwayat Abu Dawud no.733) Bagi laki-laki, hendaknya dengan berjama’ah di masjid. Banyaklah berdzikir dan mengingat Allah subhanahu wata’ala. Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan memberikan syafaat bagi pembacanya pada hari kiamat nanti. Banyaklah bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang telah kalian lakukan selama ini. Mudah-mudahan dengan bertaubat, Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memberi pahala yang dengannya kalian akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Wahai para pemuda, banyak-banyaklah beramal shalih, pasti Allah subhanahu wata’ala akan memberi kalian kehidupan yang bahagia, dunia dan akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman: مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97) Engkau Habiskan untuk Apa Masa Mudamu? Pertanyaan inilah yang akan diajukan kepada setiap hamba Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat nanti. Sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya: “Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340) Sekarang cobalah mengoreksi diri kalian sendiri, sudahkah kalian mengisi masa muda kalian untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendatangkan keridhaan Allah subhanahu wata’ala? Ataukah kalian isi masa muda kalian dengan perbuatan maksiat yang mendatangkan kemurkaan-Nya? Kalau kalian masih saja mengisi waktu muda kalian untuk bersenang-senang dan lupa kepada Allah subhanahu wata’ala, maka jawaban apa yang bisa kalian ucapkan di hadapan Allah subhanahu wata’ala Sang Penguasa Hari Pembalasan? Tidakkah kalian takut akan ancaman Allah subhanahu wata’ala terhadap orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah mengancam pelaku kejahatan dalam firman-Nya: مَن يَعْمَلْ سُوءًا يُجْزَ بِهِ وَلَا يَجِدْ لَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An Nisa’: 123) Bukanlah masa tua yang akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, pergunakanlah kesempatan di masa muda kalian ini untuk kebaikan. Ingat-ingatlah selalu bahwa setiap amal yang kalian lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Jauhi Perbuatan Maksiat Apa yang menyebabkan Adam dan Hawwa dikeluarkan dari Al Jannah (surga)? Tidak lain adalah kemaksiatan mereka berdua kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka melanggar larangan Allah subhanahu wata’ala karena mendekati sebuah pohon di Al Jannah, mereka terbujuk oleh rayuan iblis yang mengajak mereka untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala. Wahai para pemuda, senantiasa iblis, setan, dan bala tentaranya berupaya untuk mengajak umat manusia seluruhnya agar mereka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya): إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا ۚ إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ “Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6) Setiap amalan kejelekan dan maksiat yang engkau lakukan, walaupun kecil pasti akan dicatat dan diperhitungkan di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti engkau akan melihat akibat buruk dari apa yang telah engkau lakukan itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya): وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az Zalzalah: 8) Setan juga menghendaki dengan kemaksiatan ini, umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama teman-temanmu melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala, itu merupakan wujud solidaritas dan kekompakan di antara kalian. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang engkau cintai menjadi musuh yang paling engkau benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman: إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91) Demikianlah setan menjadikan perbuatan maksiat yang dilakukan manusia sebagai sarana untuk memecah belah dan menimbulkan permusuhan di antara mereka. Ibadah yang Benar Dibangun di atas Ilmu Wahai para pemuda, setelah kalian mengetahui bahwa tugas utama kalian hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala semata, maka sekarang ketahuilah bahwa Allah subhanahu wata’ala hanya menerima amalan ibadah yang dikerjakan dengan benar. Untuk itulah wajib atas kalian untuk belajar dan menuntut ilmu agama, mengenal Allah subhanahu wata’ala, mengenal Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam ini, mengenal mana yang halal dan mana yang haram, mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah), serta mana yang sunnah dan mana yang bid’ah. Dengan ilmu agama, kalian akan terbimbing dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, sehingga ibadah yang kalian lakukan benar-benar diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak orang yang beramal kebajikan tetapi ternyata amalannya tidak diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala, karena amalannya tidak dibangun di atas ilmu agama yang benar. Oleh karena itu, wahai para pemuda muslim, pada kesempatan ini, kami juga menasehatkan kepada kalian untuk banyak mempelajari ilmu agama, duduk di majelis-majelis ilmu, mendengarkan Al Qur’an dan hadits serta nasehat dan penjelasan para ulama. Jangan sibukkan diri kalian dengan hal-hal yang kurang bermanfaat bagi diri kalian, terlebih lagi hal-hal yang mendatangkan murka Allah subhanahu wata’ala. Ketahuilah, menuntut ilmu agama merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan menyebabkan kecelakaan bagi pelakunya. “Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no.224) Akhir Kata Semoga nasehat yang sedikit ini bisa memberikan manfaat yang banyak kepada kita semua. Sesungguhnya nasehat itu merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini, bahkan saling memberikan nasehat merupakan salah satu sifat orang-orang yang dijauhkan dari kerugian, sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Al ‘Ashr: وَالْعَصْرِ(Ø) إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ(Ù) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ(Ú) “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3) Wallahu ta‘ala a’lam bishshowab. Sumber: Buletin Al-Ilmu, Penerbit Yayasan As-Salafy Jember (Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=418) Filed in: Anak dan Keluarga

@ Tips Membina Rumah Tangga yang Sakinah


Selasa, 21 Februari 2012 Setiap insan yang hidup pasti menginginkan dan mendambakan suatu kehidupan yang bahagia, tentram, sejahtera, penuh dengan keamanan dan ketenangan atau bisa dikatakan kehidupan yang sakinah, karena memang sifat dasar manusia adalah senantiasa condong kepada hal-hal yang bisa menentramkan jiwa serta membahagiakan anggota badannya, sehingga berbagai cara dan usaha ditempuh untuk meraih kehidupan yang sakinah tersebut. Pembaca yang budiman, sesungguhnya sebuah kehidupan yang sakinah, yang dibangun diatas rasa cinta dan kasih sayang, tentu sangat berarti dan bernilai dalam sebuah rumah tangga. Betapa tidak, bagi seorang pria atau seorang wanita yang akan membangun sebuah rumah tangga melalui tali pernikahan, pasti berharap dan bercita-cita bisa membentuk sebuah rumah tangga yang sakinah, ataupun bagi yang telah menjalani kehidupan berumah tangga senantiasa berupaya untuk meraih kehidupan yang sakinah tersebut. HAKEKAT KEHIDUPAN RUMAH TANGGA YANG SAKINAH Pembaca yang budiman, telah disebutkan tadi bahwasanya setiap pribadi, terkhusus mereka yang telah berumah tangga, pasti dan sangat berkeinginan untuk merasakan kehidupan yang sakinah, sehingga kita menyaksikan berbagai macam cara dan usaha serta berbagai jenis metode ditempuh, yang mana semuanya itu dibangun diatas presepsi yang berbeda dalam mencapai tujuan kehidupan yang sakinah tadi. Maka nampak di pandangan kita sebagian orang ada yang berusaha mencari dan menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya, karena mereka menganggap bahwa dengan harta itulah akan diraih kehidupan yang sakinah.Ada pula yang senantiasa berupaya untuk menyehatkan dan memperindah tubuhnya, karena memang di benak mereka kehidupan yang sakinah itu terletak pada kesehatan fisik dan keindahan bentuk tubuh. Disana ada juga yang berpandangan bahwa kehidupan yang sakinah bisa diperoleh semata-mata pada makanan yang lezat dan beraneka ragam, tempat tinggal yang luas dan megah, serta pasangan hidup yang rupawan, sehingga mereka berupaya dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan itu semua. Akan tetapi, pembaca yang budiman, perlu kita ketahui dan pahami terlebih dahulu apa sebenarnya hakekat kehidupan yang sakinah dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Sesungguhnya hakekat kehidupan yang sakinah adalah suatu kehidupan yang dilandasi mawaddah warohmah (cinta dan kasih sayang) dari Allah subhanahu wata’ala Pencipta alam semesta ini. Yakni sebuah kehidupan yang dirihdoi Allah, yang mana para pelakunya/orang yang menjalani kehidupan tersebut senantiasa berusaha dan mencari keridhoan Allah dan rasulNya, dengan cara melakukan setiap apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah dan rasulNya. Maka kesimpulannya, bahwa hakekat sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah adalah terletak pada realisasi/penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan berumah tangga yang bertujuan mencari ridho Allah subhanahu wata’ala. Karena memang hakekat ketenangan jiwa (sakinah) itu adalah ketenangan yang terbimbing dengan agama dan datang dari sisi Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana firman Allah (artinya): “Dia-lah yang telah menurunkan sakinah (ketenangan) ke dalam hati orang-orang yang beriman agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (Al Fath: 4) BIMBINGAN RASULULLAH DALAM KEHiDUPAN BERUMAH TANGGA Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam selaku uswatun hasanah (suri tauladan yang baik) yang patut dicontoh telah membimbing umatnya dalam hidup berumah tangga agar tercapai sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah. Bimbingan tersebut baik secara lisan melalui sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam maupun secara amaliah, yakni dengan perbuatan/contoh yang beliau shalallahu ‘alaihi wasallam lakukan. Diantaranya adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam senantiasa menghasung seorang suami dan isteri untuk saling ta’awun (tolong menolong, bahu membahu, bantu membantu) dan bekerja sama dalam bentuk saling menasehati dan saling mengingatkan dalam kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam: اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ “Nasehatilah isteri-isteri kalian dengan cara yang baik, karena sesungguhnya para wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya (paling atas), maka jika kalian (para suami) keras dalam meluruskannya (membimbingnya), pasti kalian akan mematahkannya. Dan jika kalian membiarkannya (yakni tidak membimbingnya), maka tetap akan bengkok. Nasehatilah isteri-isteri (para wanita) dengan cara yang baik.” (Muttafaqun ‘alaihi. Hadits shohih, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) Dalam hadits tersebut, kita melihat bagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam membimbing para suami untuk senantiasa mendidik dan menasehati isteri-isteri mereka dengan cara yang baik, lembut dan terus-menerus atau berkesinambungan dalam menasehatinya. Hal ini ditunjukkan dengan sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam: وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ yakni “jika kalian para suami tidak menasehati mereka (para isteri), maka mereka tetap dalam keadaan bengkok,” artinya tetap dalam keadaan salah dan keliru. Karena memang wanita itu lemah dan kurang akal dan agamanya, serta mempunyai sifat kebengkokan karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok sebagaimana disebutkan dalam hadits tadi, sehingga senantiasa butuh terhadap nasehat. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga bahkan ini dianjurkan bagi seorang isteri untuk memberikan nasehat kepada suaminya dengan cara yang baik pula, karena nasehat sangat dibutuhkan bagi siapa saja. Dan bagi siapa saja yang mampu hendaklah dilakukan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 3) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ “Agama itu nasehat.” (HR. Muslim no. 55) Maka sebuah rumah tangga akan tetap kokoh dan akan meraih suatu kehidupan yang sakinah, insya Allah, dengan adanya sikap saling menasehati dalam kebaikan dan ketakwaan. DIANTARA TIPS/CARA MERAIH KEHIDUPAN YANG SAKINAH 1. Berdzikir Ketahuilah, dengan berdzikir dan memperbanyak dzikir kepada Allah, maka seseorang akan memperoleh ketenangan dalam hidup (sakinah). Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Ketahuilah, dengan berdzikir kepada Allah, (maka) hati (jiwa) akan (menjadi) tenang.” (Ar Ra’d:28) Baik dzikir dengan makna khusus, yaitu dengan melafazhkan dzikir-dzikir tertentu yang telah disyariatkan, misal: أَسْتَغْفِرُالله , dan lain-lain, maupun dzikir dengan makna umum, yaitu mengingat, sehingga mencakup/meliputi segala jenis ibadah atau kekuatan yang dilakukan seorang hamba dalam rangka mengingat Allah subhanahu wata’ala, seperti sholat, shoum (puasa), shodaqoh, dan lain-lain. 2. Menuntut ilmu agama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ “Tidaklah berkumpul suatu kaum/kelompok disalah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid), (yang mana) mereka membaca Al Qur`an dan mengkajinya diantara mereka, kecuali akan turun (dari sisi Allah subhanahu wata’ala) kepada mereka as sakinah (ketenangan).” (Muttafaqun ‘alaihi. Hadits shohih, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu) Dalam hadits diatas, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira bagi mereka yang mempelajari Al Qur`an (ilmu agama), baik dengan mempelajari cara membaca maupun dengan membaca sekaligus mengaji makna serta tafsirnya, yaitu bahwasanya Allah akan menurunkan as sakinah (ketenangan jiwa) pada mereka. Pembaca yang budiman, demikianlah diantara beberapa hal yang bisa dijadikan tips untuk meraih dan membina rumah tangga yang sakinah. Wallahu a’lam. Semoga kajian ringkas ini dapat kita terapkan dalam hidup berkeluarga sehingga Allah menjadikan keluarga kita keluarga yang sakinah mawaddah warohmah. Amiin, Ya Rabbal alamiin. Sumber: http://www.mahadassalafy.net/?p=64

@ Kunci kunci di luaskanya rizki

Kunci-Kunci Diluaskannya Rezeki Seorang Hamba

oleh Al Ustadz Dzulqarnain

Khutbah Jumat Kunci-Kunci Rezeki
Khutbah Jumat Kunci-Kunci Rezeki
“Tidak ada satu makhluk melatapun di muka bumi kecuali Allah yang menanggung rezekinya, dan Dia yang mengetahui tempat berdiamnya dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (Huud : 6)

Sesungguhnya seorang jiwa tidak akan meninggal sampai Allah menyempurnakan semua rizkinya, maka hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan memperbaik cara mencari rizky tersebut.
Al Hadits
Dalam mejalani kehidupan, seorang hamba seharusnya meyakini bahwa rizkinya telah ditetapkan oleh Allah. Apabila rizkinya habis, maka dia tidak mungkin hidup di dunia.

Golongan manusia dalam menyikapi mencari rezeki

  • Berlebih-lebihan
Menganggap bahwa rizkynya datang dari kepandaian dirinya sendiri, tidak pernah berharap kepada Allah. Bahkan menghalalkan apa yang diharamkan Allah. Dalam hadits diatas disebutkan untuk bertakwa kepada Allah dan memperindah cara mencarinya sesuai tuntunan yang halal dalam syariat dalam mencari nafkah.
  • Menyepelekan
Menganggap bahwa rizkinya akan datang dengan sendirinya tanpa perlu dicari. Walaupun rizky sudah ditetapkan oleh Allah, akan tetapi Nabi tetap memerintahkan kita untuk memperbagus cara mencari riski.

Manfaat mengetahui sebab-sebab diluaskannya riski seorang hamba :

  • Lurus dalam mencarinya
  • Seimbang dalam mencari
  • Dibukakan pintu rahmat
  • Menambah tawakal
  • Memperkuat ibadah
  • Memperindah cara mencari rezeki

Sebab-sebab dilapangkannya rizki seorang hamba

1. Banyak memohon ampun

Maka aku (Nabi Nuh) katakan kepada mereka: “Mohonlah ampunlah kepada Rabb kalian, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat (melimpah ruah membawa kebaikan), dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai (yang penuh dengan kebaikan dan manfaat).” (Nuh 10 – 12)
Dan (Nabi Hud berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Rabb-mu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang sangat deras (yang membawa kebaikan) atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu (yang sudah kalian miliki), dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (Huud : 52)
Imam Al-Hasan Al-Bashri pernah mendapat pengaduan bahwa manusia ditimpa kelaparan dan beliau memberikan solusi untuk memohon ampun kepada Allah. Begitu juga permasalah lain yang menimpa manusia seperti kemiskinan dan kurangnya keturunan. Saat beliau ditanya kenapa melakukannya, maka beliau membawakan ayat di atas.

2. Menjaga diri di atas ketakwaan

Pengertian takwa adalah mengerjakan segala perintah Allah sesuai dengan yang diperintahkan dengan mengharap pahala, serta menjauhi larangan Allah yang telah ditentukan karena takut akan adzab-Nya. Karena dengan ketakwaan inilah seseorang akan dijamin riskinya oleh Allah.
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (Ath Thalaaq : 2-3)
Sebagian ulama mengatakan bahwa dengan ketakwaan seseorang tidak akan menjadi faqir. Karena Allah akan memberinya kecukupan baik dari sisi dhahir ataupun kecukupan yang lebih besar dari sisi bathin tatkala seseorang bertakwa dengan sebenar-benar ketakwaan. Inilah hakikat dari makna kecukupan, yaitu seseorang akan merasa tenang dengan yang sedikit dan merasa lebih dengan apa yang dianggap kurang oleh manusia.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tapi kekayaan adalah yang ada di hati” (HR. Bukhari Muslim)

3. Bertawakal kepada Allah

Diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khaththab bahwa Rasulullah bersabda, “Andaikata kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, sungguh kalian akan Kami beri rizki sebagaimana burung diberi rizky. Di pagi hari keluar dalam keadaan perut kosong dan kembali dalam keadaan kenyang.” (HR Ahmad)
Rukun agar tawakal terwujud secara nyata
  1. Menyerahkan urusannya kepada Allah
  2. Menjalani sebab-sebab untuk mencapai tujuan tersebut
  3. Meyakini apabila kenikmatan tersebut datang semuanya adalah semata dari Allah
Contoh: Seseorang yang sakit menyerahkan urusan sakitnya kepada Allah, akan tetapi dia tetap berobat, berusaha menyembuhkan penyakitnya. Akan tetapi setelah sembuh dia harus mengatakan bahwa kesembuhannya merupakan karunia dari Allah.
Rasulullah memberikan contoh tawakal dengan burung karena burung tersebut tidak memiliki simpanan makanan. Akan tetapi walaupun dengan kondisi yang demikian, dia di pagi hari keluar mencari riski dalam keadaan perut kosong dan di sore harinya sudah kenyang. Dan burung tersebut tidak hanya berdiam diri di sarangnya, akan tetapi keluar mencari rizky.

4. Mensibukkan diri dengan ibadah

Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah mengabarkan bahwa Allah berfirman dalam hadits Qudsi, “Wahai Hamba-hambaku, hendaknya kalian memenuhi waktu (konsentrasi) dengan ibadah, kalau kalian melakukannya Aku akan memenuhi dada kalian dengan kekayaan, dan Aku akan menutupi kefakiran kalian. Kalau kalian tidak melakukannya, Aku akan memenuhi dada kalian dengan kesibukan dan Aku tidak akan menutup kefakiran kalian.”
Maka hendaknya seorang hamba menyibukkan dirinya dengan ibadah dan tetap berusaha mencari rizkinya. Karena dengan berkonsentrasi terhadap ibadah inilah yang akan mempermudah seseorang dalam mencari rizqy.

5. Mensyukuri nikmat-Nya

Allah berfirman, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mengumumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim : 7)
Rukun untuk mewujudkan kenikmatan
  • Memuji Allah dengan lisannya
  • Mengakui dalam hati bahwa semua nikmat tersebut datang dari-Nya. Apapun kenikmatan yang datang kepada kalian maka itu datangnya dari Allah (An-Nisaa : 79)
  • Menggunakan kenikmatan tersebut dalam ketaatan

6. Istiqomah di atas agama

Allah berfirman, “Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak).” (Al-Jin : 16)

7. Menyambung ibadah haji dan umrah

Rasulullah bersabda, “Terus-meneruslah kalian menyambung antara pelaksanaan haji dan umrah, sebab kedua ibadah ini menggugurkan kefakiran dan dosa-dosa sebagaimana api menggugurkan karat di besi”.

8. Menyambung silaturahmi

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang senang Allah luaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya dia menyambung silaturahmi.” (HR. Bukhari Muslim)

9. Berinfaq dengan pemberian dari Allah

Allah berfirman dalam hadits Qudsi, “Wahai anak adam berinfaklah, maka akun akan berinfaq kepadamu”
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada satu haripun yang berlalu kecuali ada dua malaikat yang turun, satu malaikat berkata, Ya Allah, berilah kepada orang yang berinfak di hari ini ganti untuknya. Dan malaikat yang lainnya berkata, Ya Allah berikanlah kerugian kepada orang yang tidak berinfak di hari ini.” (HR. Bukhari Muslim)
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya shodaqoh itu tidak pernah mengurangi harta.” (HR. Bukhari Muslim)
Allah berfirman, “Apapun yang kalian infaqkan dari sesuatu, maka Dialah yang akan menggantinya, dan Dialah sebaik-baik pemberi rizky.” (Saba’ : 39)

10. Berinfaq kepada penuntut ilmu

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik bahwa datang seorang lelaki kepada Rasulullah mengadukan saudaranya yang belajar kepada Rasulullah dan tidak bekerja, maka dijawab oleh Nabi, “Barangkali kamu mendapat rizky dikarenakan saudaramu.” (HR. Imam Ahmad)
Keberadaan penuntut ilmu ditekankan dalam syariat, karena dengan mereka umat Islam akan mendapatkan manfaat yang sangat banyak.

11. Berbuat baik kepada orang-orang yang lemah

Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda, “Tidaklah kalian itu mendapatkan rizky dan mendapatkan pertolongan kecuali kalau kalian berbuat baik terhadap orang-orang yang lemah diantara kalian.” (HR. Imam Bukhari)

12. Menjaga shalat lima waktu

Diantara cara menjaga shalat lima waktu :
  • Melakukannya di awal waktu yang utama
  • Apabila laki-laki maka shalat di masjid
  • Apabila seorang kepala keluarga maka memerintahkan anggota keluarganya untuk mengerjakan shalat
Allah berfirman, “Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang memberi rezeki kepada kalian. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (Thaahaa : 132)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas bahwa apabila seseorang memerintahkan keluarganya untuk mengerjakan shalat dan bersabar terhadapnya, maka dia akan dikaruniakan rizky dari arah yang tidak pernah dia sangka.

@ Muslim Wajib Belajar


June 20, 2011 | Filed under: Nasehat | Posted by: webmaster Manusia terlahir di dunia dalam keadaan yang lemah tidak mengetahui apapun. Allah mengingatkan kondisi kita kala itu dalam salah satu ayat-Nya. Allah berfirman yang artinya, “Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati agar kalian bersyukur.” [Q.S. An Nahl:78]. Nikmat ini kemudian Allah dukung dengan kesehatan jasmani dan rohani. Allah berikan pula berbagai sarana pembelajaran seperti pendengaran, penglihatan, dan hati. Sehingga, manusia bisa belajar dari sekitarnya. Jadi, sifat asal manusia adalah bodoh tidak mengetahui apapun. Tidak mengerti untuk apa ia diciptakan, bagaimana ia hidup, dan mau kemana tujuan hidupnya. Allah berfirman: “Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” [Q.S. Al Ahzab:72]. Karenanya, banyak orang yang tidak mengetahui kemaslahatan dan kebaikan sekalipun untuk dirinya sendiri di dunia, apalagi di akhirat. Oleh sebab itulah Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan kitab-kitab-Nya dan mengutus para rasul-Nya untuk membimbing dan mengarahkan manusia. Hal ini untuk mengajarkan kepada mereka kemaslahatan sekaligus kemadharatan bagi manusia agar selamat dan berbahagia dalam menjalani kehidupan ini. Allah berfirman: “Allah mengajarkan kepada manusia perkara yang tidak ia ketahui.” [Q.S. Al Alaq:5]. Pengajaran Allah ini tentunya bisa didapatkan dengan usaha. Yakni, berusaha mengoptimalkan pemanfaatan nikmat sarana yang telah Allah karuniakan kepada manusia. Allah berfirman, “ Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai kalbu yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, adalah kalbu yang di dalam dada.” [Q.S. Al Hajj:46]. Kita bisa menggunakan mata untuk melihat tanda-tanda keagungan-Nya, telinga untuk mendengar ayat-ayat-Nya, serta kalbu untuk merenungi, memahami, dan menyakininya. Baik ayat kauniyah maupun syar’iyah. Ayat kauniyah berupa alam semesta dan ayat syar’iyah berupa firman-Nya berikut penjelasaan rasul-Nya `. Inilah ilmu yang hakiki. Yaitu bagaimana mengenal Allah, nama dan sifat-Nya, hak-hak-Nya atas hamba, mengenal Rasul-Nya, bimbingan dan petuah beliau serta mengenal agama-Nya. Diterangkan oleh Syaikh Abdurrahman As Sa’di dalam Bahjatul Qulub Al Abrar, bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang membersihkan kalbu dan ruh. Ilmu yang berbuah kebahagian dunia dan akhirat. Yaitu ilmu yang dibawa oleh Rasulullah ` baik berupa hadits, tafsir, dan fiqih atau pemahaman. Termasuk pula ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang bisa mendukung hal tersebut seperti bahasa arab dan yang lainnya. Sementara Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim menjelaskan bahwa pembelajaran yang paling sempurna adalah fokus dalam menimba ilmu warisan Nabi `. Konsentrasi dalam memahami maksud beliau dalam perintah, larangan, dan semua sabda beliau. Kemudian tunduk patuh mengikutinya tanpa mendahulukan perkataan siapa pun atas sabda beliau. Manusia tidak bisa tidak pasti membutuhkan ilmu ini, sejauh mana kebutuhannya terhadap keselamatan dan kebahagiaan hidup, sejauh itu pula kebutuhannya terhadap ilmu. Sehingga ilmu merupakan kebutuhan paling asasi melebihi kebutuhan sesorang terhadap makan dan minum. Karena makan dan minum dibutuhkan tubuh sekali atau dua kali dalam sehari. Sedangkan ilmu dibutuhkan oleh jiwa dan raga sepanjang tarikan nafasnya, seiring denyut nadinya, dan sejalan detak jantungnya. Seorang yang kekurangan makan dan minum hanya bermadharat terhadap raganya di dunia. Sedangkan kosongnya seseorang dari ilmu akan menghancurkan jiwa raganya di dunia sekaligus di akhirat. Demikian makna penjelasan Imam Ahmad, sebagaimana dinukilkan dari Syudzurat Adz Dzahab. Oleh sebab itulah, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang mensyariatkan hamba-Nya untuk menuntut ilmu demi keselamatan hamba di dunia dan di akhirat. Marilah kita perhatikan bahwa Allah telah memerintahkan untuk berilmu terlebih dahulu sebelum segala sesuatu. Allah berfirman: “Maka ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) yang benar untuk diibadahi selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” [Q.S. Muhammad:19]. Dalam ayat ini Allah memerintahkan dua perkara kepada Nabi-Nya `. Yang pertama perintah berilmu kemudian yang kedua perintah untuk beramal. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukaan ilmu didahulukan daripada amal, sekaligus menunjukkan pula bahwa ilmu adalah syarat keabsahan ucapan dan amalan. Artinya jika kita berucap atau beramal tanpa didasari ilmu maka tidak sah. Demikian sebagaimana disebutkan dalam Hasyiah Tsalatsatul Ushul. Berdalil dengan ayat ini pula Imam Al Bukhari membuat bab khusus dalam kitab Shahih beliau, ‘Bab mengilmui dahulu sebelum berucap dan beramal.’ Rasulullah ` juga bersabda dalam hadits Anas bin Malik z: طلب العلم فريضة على كل مسلم ”Menuntut ilmu adalah wajib atas setiap muslim.” [H.R. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At-Targhib]. Imam Ahmad v menjelaskan bahwa wajib atas setiap orang untuk menuntut ilmu yang bisa menegakkan agama. Yaitu ilmu yang tidak ada kelonggaran untuk tidak mengetahuinya, tentang shalatnya, puasanya dan yang semacamnya. Syaikh Muhammad At Tamimi menjelaskan, “Ketahuilah bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban. Ilmu adalah obat bagi hati yang sakit. Ketahuilah pula bahwa perkara terpenting bagi hamba adalah mengetahui agamanya, yang mana mengilmui dan mengamalkannya adalah sebab masuk ke dalam surga. Sebaliknya, kebodohan dan masa bodoh terhadap agama adalah sebab terjerumusnya seseorang ke dalam neraka. Semoga Allah menyelamatkan kita dari neraka.” [Hasyiah Tsalatsatul Ushul]. Jelas bagi kita dari ayat dan hadits serta penjelasan para ulama di atas bahwa menuntut ilmu agama ini adalah wajib atas setiap individu. Ya, kita diciptakan Allah dengan segala fasilitas tentu mempunyai tujuan, bukan sia-sia. Tetapi untuk memurnikan peribadahan kepada-Nya semata, untuk memakmurkan bumi dengan ketaatan, serta meninggikan kalimat-Nya setinggi-tingginya. Semua ini bisa terwujud dengan berilmu terlebih dahulu sebelum segala melakukan sesuatu. Inilah jalan kebahagiaan dan keselamatan. Allahu a’lam. [Farhan].

@ Pendidikan Keluarga

June 20, 2011 | Filed under: Wanita dan Keluarga | Posted by: webmaster Hasil Ujian Nasional baru saja diumumkan. Ada yang gembira karena lulus, ada juga yang bersedih karena gagal lulus. Padahal oleh masyarakat, lulus atau tidaknya siswa dalam ujian, sering dianggap sebagai “faktor terpenting yang menentukan masa depan”. Mereka yang tidak lulus sering dianggap masa depannya suram. Sehingga akhir-akhir ini kita sering mendengar siswa yang tidak lulus ujian merasa frustasi, histeris, hingga ada yang bunuh diri. Suatu tindakan berlebihan yang mencerminkan sudah tidak adanya lagi yang diharapkan dari hidup ini. *** Pembaca yang dirahmati Allah… Kebutuhan manusia akan ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang mutlak. Dahulu, sebelum adanya lembaga-lembaga pendidikan formal seperti sekolah, anak-anak dididik oleh orang tua masing-masing. Pada perkembangannya, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kesibukan orang tua menyebabkan mereka tidak mampu lagi mengajar. Orang tua lalu menitipkan anaknya pada seseorang atau lembaga yang dianggap pandai. Lembaga pendidikan inilah yang lalu diistilahkan dengan “almamater” yang berarti ibu yang memberikan ilmu, yang saat ini menjelma menjadi sekolah. Konsep pendidikan pada masyarakat modern lambat laun menjadi bergeser. Pendidikan yang tadinya bertumpu pada keluarga, sekarang menjadi bertumpu pada sekolah. Bukan hanya transfer ilmu, sekolah juga dijadikan sebagai tumpuan utama dalam pendidikan karakter, akhlaq, dan spiritual. Dengan alasan sudah dibayar, sekolah menjadi pihak yang paling sering disalahkan bila terjadi permasalahan dalam proses belajar sang anak. Padahal rata-rata porsi pendidikan agama yang ada di sekolah umum sekarang amat sedikit. Tidak mungkin siswa mengenal Tuhannya, mengenal Nabinya, dan mengenal agamanya, jika pelajaran agama hanya sekitar 2 jam tiap pekan. Disinilah fungsi pendidikan keluarga menjadi sangat penting. Anak bisa membaca Al Quran bukan karena dia sekolah, tapi karena keluarganya yang mengajarinya. Keluarganyalah yang berperan mengajaknya ke masjid untuk sholat berjamaah. Keluarga jugalah yang membangunkan dia untuk bangun sahur untuk latihan berpuasa sejak dini. Sehingga, agama tidak hanya menjadi teori hapalan semata, namun diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, dicontohkan dalam kehidupan keluarga. Masalah tidak hanya pada sedikitnya pendidikan agama, namun padatnya jadwal sekolah ditambah kegiatan ekstrakurikuler atau ikut bimbingan belajar, juga membuat mayoritas kehidupan anak menjadi di luar rumah. Dia jadi kurang mengenal lingkungan sekitar rumahnya. Jangan heran jika anak sekarang tidak hapal nama tetangga atau nama Ketua RTnya sendiri. Beberapa orang tua mengeluh, “Anak saya jarang membantu pekerjaan rumah, padahal saya repot mencuci, memasak, dan membersihkan rumah. Sementara dia kelihatan sibuk sekali dengan HP dan komputernya. Saya jadi enggan menegurnya”. Keluhan ini menunjukkan bagaimana kesibukan anak di luar keluarga, sampai menghilangkan kepekaan terhadap lingkungan keluarganya sendiri. Dia tidak merasa sungkan lagi ketika orang yang berada di dekatnya kesusahan. Rasa bakti terhadap orang tua dan keluarga lama-lama menjadi pudar. Allah l berfirman, “Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu” [QS. An Nisaa’ : 36] Namun bukan berarti bahwa sekolah itu buruk. Hanya saja, pendidikan dalam keluarga tetaplah yang paling utama. Sekolah hanya mengajari teori-teori seperti matematika, bahasa, dan sains, tidak mengajarkan bagaimana menyelesaikan persoalan dalam kehidupan. Sehingga jangan heran jika sekarang banyak siswa yang memperoleh nilai tinggi dalam pelajaran fisika namun tidak mengerti bagaimana membetulkan genteng yang bocor, atau siswi yang cerdas dalam biologi tapi tidak bisa memasak. Pembaca yang dirahmati Allah… Pendidikan keluarga haruslah mampu menanamkan kecintaan anak terhadap ilmu. Sehingga, dalam proses belajar, ia tidak merasa terpaksa. Ia belajar karena ia menyukainya. Kegagalan dalam proses belajar bukanlah sesuatu yang memalukan, selama ia belajar sungguh-sungguh. Mencontek merupakan salah satu perbuatan buruk yang timbul karena anak tidak menghargai ilmu. Apabila belajar dipahami sebagai proses mencari ilmu bukan hanya mencari nilai, maka perbuatan mencontek tidak akan terjadi. Dan tindakan bunuh diri akibat kegagalan dalam Ujian Akhir, juga tidak akan terjadi. Karena anak tahu, bahwa dia tidak lulus karena memang belum paham dengan ilmunya, sehingga ini justru memacunya untuk kembali belajar. Pendidikan keluarga juga harus mampu mengembangkan jiwa sosialnya. Melalui keteladanan orang tua, anak diajari tentang akhlaq yang baik. Dia belajar untuk perhatian dengan lingkungan sekitarnya, terbiasa tegur sapa dengan tetangganya. Juga ajarkan anak untuk ikut aktif dalam mengurusi pekerjaan rumah tangga, menyelesaikan permasalahan yang timbul di sekitar rumah. Karena hal-hal kecil dalam mengurusi pekerjaan rumah tangga inilah yang sejatinya diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dia kelak. Ini juga akan melatih mentalnya, sehingga ia akan memiliki daya juang, tidak malas dan kendur dalam menghadapi problema hidup di kemudian hari. Dan yang paling penting, bahwa pendidikan keluarga haruslah berbasis agama yang mampu mendekatkan anak dengan Allah l. Keluarga harus berupaya agar tiap anggota keluarganya, terutama anak melaksanakan perintah Allah l. Pendidikan agama sedari kecil, mulai dari membaca Qur’an, menghapal doa-doa harian, belajar cara wudhu dan sholat, akan menanamkan benih-benih tauhid. Sehingga ia tahu untuk apa ia diciptakan. Ia tahu apa yang harus dia lakukan. Dan ia tahu, kepada siapa dia meniatkan aktifitasnya sehari-hari. Allah l berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” [QS. At Tahrim : 6] Semoga Allah l menjadikan anak-anak kita sebagai generasi yang sholih dan sholihah, yang berbakti kepada orang tuanya. Wallahu alam bish showwab (Ristyandani)

@ Islam, Agama Sehat

May 20, 2011 | Filed under: Artikel,Wanita dan Keluarga | Posted by: webmaster Banyak citra dihembuskan untuk menjelekkan Islam. Islam digambarkan sebagai agama yang kumuh, kolot, terbelakang, dan jauh dari kesehatan. Pemeluknya dianggap tidak mementingkan kesehatan dan keindahan. Realitanya, banyak hadits dan atsar-atsar ulama menganjurkan untuk memerhatikan kesehatan. Rasulullah ` pun pernah menyabdakan: تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ “Berobatlah karena Allah U tidak menurunkan penyakit kecuali pasti menurunkan obatnya, kecuali satu penyakit: pikun.” [H.R. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani]. Imam Asy-Syafi’i v mengatakan, “Aku tidak mengetahui ilmu yang lebih cerdas setelah ilmu mengenai halal dan haram daripada ilmu kedokteran.” Hal ini karena ilmu dibagi menjadi dua: ilmu mengenai agama dan ilmu mengenai badan. Ilmu yang pertama membahas kesehatan rohani sedang ilmu yang kedua membahas kesehatan jasmani. Demikianlah, agama Islam sangat perhatian terhadap perkara kesehatan. Rasulullah ` juga telah memberitakan beberapa jenis pengobatan yang sejatinya merupakan mukjizat bagi beliau. Di mana, dengan penelitian modern tersingkap secara klinis manfaat dan kegunaannya. Madu Siapa yang tak kenal madu. Minuman kental yang manis ini sudah dipercaya sejak lama sebagai obat manjur dan lezat. Di dalam Al-Quran Allah berfirman yang artinya, “Keluar dari perut lebah minuman yang bermacam-macam warnanya di dalamnya ada obat bagi manusia.” [Q.S. An-Nahl:69]. Madu banyak mengandung gula. Karena gula yang dikandung madu adalah gula sederhana, energi madu mudah diserap tubuh. Walau begitu, gula yang dikandung madu memiliki kalori 40% lebih rendah daripada kalori gula biasa (sukrosa). Artinya, meski madu memberikan energi yang besar, madu tidak menambah berat badan. Inilah alasannya madu sangat baik untuk orang yang membutuhkan energi spontan seperti para olahragawan hingga orang yang berniat diet kalori. Selain gula, madu juga mengandung mineral-mineral penting seperti Magnesium, Kalium, Kalsium, Belerang, Besi, dan Sulfat. Madu juga mengandung vitamin-vitamin B1, B2, B3, B5, B6, dan C. Kandungan ini sangat tergantung pada nektar dan jenis bunga. Madu memiliki sifat melawan bakteri. Mengoleskan madu pada luka bisa mencegah infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Pada kasus luka bakar, madu juga bisa digunakan untuk mempercepat penyembuhan karena lebih cepat mengeringkan luka. Habbatus Sauda (Nigella sativa) Di Indonesia, Habbatus Sauda` sering juga disebut dengan jintan hitam. Biji bunga yang berwarna hitam ini memiliki khasiat yang sangat banyak. Rasulullah ` pernah bersabda, “Sesungguhnya habbatus sauda` adalah obat dari segala penyakit kecuali kematian.” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]. Habbatus sauda` mengandung banyak gizi yang sangat bermanfaat bagi tubuh. Sterol dan beta-sitosterol yang merupakan zat anti tumor membuktikan sahnya habbatus sauda` untuk digunakan sebagai obat anti tumor. Juga dilaporkan bahwa minyak habbatus sauda` efektif untuk merawat orang yang kecanduan. Peneliti di Pusat Kanker Kimmel, Universitas Thomas Jefferson di Philadelpia menemukan bahwa thymoquinone dalam ekstrak minyak jintan hitam mampu memblokir pertumbuhan sel kanker pankreas dan membunuh sel tersebut dengan memprogram semacam ‘bunuh diri’ bagi sel kanker tersebut yang sering disebut proses apoptosis. Namun, meminum jintan hitam tidak boleh overdosis. Jintan hitam memiliki kandungan melanthin dan nigilline. Melanthin beracun dalam dosis besar dan nigelline memiliki pengaruh membuat lumpuh, maka jintan hitam harus dikonsumsi dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Inilah sekilas ulasan dua buah obat mujarab yang disebutkan oleh Rasulullah `. Hal ini juga menjelaskan kepada kita bahwa Islam bukan agama yang tidak mencintai kesehatan. Islam adalah agama sehat di bawah wahyu ilahi yang menjamin manjur dan mujarabnya obat dan metode yang dipakai. Allahu a’lam bish shawab. (abdurrahman)

@ Sebarkan Salam


April 2, 2008 Abdullah bin ‘Amr ibnil ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan, “Ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Perangai Islam yang manakah yang paling baik?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Engkau memberi makan (kepada orang yang membutuhkan, pent.) serta mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak engkau kenal.” (HR. Al-Bukhari no. 6236 dan Muslim no. 159) Pada kesempatan lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan kalian tidak dikatakan beriman hingga kalian bisa saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan terhadap satu amalan yang bila kalian mengerjakannya kalian akan saling mencintai? Yaitu sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 192) Dalam dua hadits di atas terdapat hasungan yang besar untuk menyebarkan salam kepada kaum muslimin seluruhnya, yang dikenal ataupun yang tidak. Dan salam merupakan syiar kaum muslimin yang membedakan mereka dengan non muslim. Salam merupakan sebab awal tumbuhnya kedekatan hati dan kunci yang mengundang rasa cinta. Dengan menyebarkannya berarti menumbuhkan kedekatan hati di antara kaum muslimin, selain untuk menampakkan syiar mereka yang berbeda dengan orang-orang selain mereka. (Al-Minhaj 2/224, 225, Syarhu Riyadhish Shalihin, Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu, 3/6) Bila salam terucap dari seorang lelaki kepada lelaki lain atau antara sesama wanita, atau lelaki kepada wanita yang merupakan mahramnya dan sebaliknya wanita mengucapkan salam kepada lelaki dari kalangan mahramnya, tidaklah menjadi permasalahan. Bahkan mereka dihasung untuk mengamalkan dua hadits di atas. Yang menjadi tanya adalah: bolehkah laki-laki mengucapkan salam kepada wanita ajnabiyyah (bukan mahramnya) dan sebaliknya? Untuk menjawabnya, kita baca hadits-hadits yang akan disebutkan berikut ini: Abdullah bin Maslamah menyebutkan riwayat dari Ibnu Abi Hazim, dari bapaknya, dari Sahl radhiyallahu ‘anhu. Sahl radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kami merasa senang pada hari Jum’at.” Aku (Abu Hazim) bertanya kepada Sahl, “Kenapa?” Sahl menjawab, “Kami punya (kenalan) seorang wanita tua, ia mengirim orang ke Budha’ah –sebuah kebun yang ada di Madinah– lalu ia mengambil pokok pohon silq (semacam sayuran, pent.) dan dimasukkannya ke dalam bejana (yang berisi air, pent.), dimasak sampai matang. Kemudian ia mengadon biji-bijian dari gandum. Bila kami selesai dari shalat Jum’at, kami pergi ke tempat wanita tersebut dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu ia menghidangkan masakan tersebut kepada kami maka kami bergembira karenanya1. Tidaklah kami tidur siang dan tidak pula makan siang kecuali setelah Jum’atan.” (HR. Al-Bukhari no. 6248) Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Aisyah! Ini Jibril, ia mengirim salam untukmu2.” Aisyah menjawab, “Wa ‘alaihis salam wa rahmatullah.3 Engkau (wahai Rasulullah) dapat melihat apa yang tidak kami lihat.” (HR. Al-Bukhari no. 6249 dan Muslim no. 6251) Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu memberi judul dua hadits di atas dengan bab Taslimur Rijal ‘alan Nisa` wan Nisa` ‘alar Rijal, artinya “Laki-laki mengucapkan salam kepada wanita dan wanita mengucapkan salam kepada laki-laki.” Ummu Hani` Fakhitah bintu Abi Thalib radhiyallahu ‘anha, saudara kandung ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, yang berarti misan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengabarkan: “Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Fathu Makkah dalam keadaan beliau sedang mandi, sementara putri beliau, Fathimah radhiyallahu ‘anha menutupi beliau dengan kain4. Aku mengucapkan salam kepada beliau5. Beliau pun bertanya: “Siapa yang datang ini?” “Saya Ummu Hani` bintu Abi Thalib,” jawabku. “Marhaban Ummu Hani`,” sambut beliau. (HR. Al-Bukhari no. 357 dan Muslim no. 1666) Asma` bintu Yazid radhiyallahu ‘anha menyampaikan: “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat di masjid dan sekumpulan wanita tengah duduk. Beliau pun melambaikan tangan sebagai pengucapan salam.”6 (HR. At-Tirmidzi no. 2697, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi) Abdullah ibnuz Zubair radhiyallahu ‘anhuma berkata mengomentari jual beli atau pemberian yang diberikan oleh bibinya, Aisyah bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma7: “Demi Allah! Aisyah harus berhenti dari apa yang dilakukannya8 atau aku sungguh akan memboikotnya.” Ketika disampaikan ucapan Ibnuz Zubair ini kepada Aisyah, ia berkata, “Apa benar Ibnuz Zubair (Abdullah) berkata demikian?” “Ya,” jawab mereka. “Kalau begitu, demi Allah! Aku bernadzar tidak akan mengajak bicara Ibnuz Zubair selama-lamanya,” kata Aisyah dengan kesal. Ketika sudah berlangsung lama hajrnya (diamnya) Aisyah kepadanya, Ibnuz Zubair meminta bantuan kepada orang lain untuk menjadi perantara yang mengishlah antara dia dan bibinya. Namun Aisyah menolaknya, “Tidak demi Allah! Aku tidak akan menerima seorang pun yang menjadi perantaranya agar aku kembali mengajaknya bicara dan aku tidak akan melanggar nadzarku.” Tatkala panjang lagi keadaan seperti itu bagi Ibnuz Zubair, ia pun mengajak bicara Al-Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman ibnul Aswad bin Abdi Yaghuts, keduanya dari Bani Zuhrah.9 Ibnuz Zubair berkata kepada keduanya, “Aku meminta kepada kalian berdua dengan nama Allah agar kalian berdua memasukkan aku ke tempat Aisyah (hingga dapat bertemu muka dengannya) karena tidak halal baginya bernadzar memutuskan hubungan denganku.” Al-Miswar dan Abdurrahman pun datang ke rumah Aisyah dalam keadaan mereka menyelubungi tubuh mereka dengan rida`, bersama mereka berdua ada Ibnuz Zubair. Mereka minta izin masuk ke rumah Aisyah. Keduanya mengucapkan salam kepada Aisyah, “Assalamu ‘alaiki wa rahmatullahi wa barakatuh, bolehkah kami masuk?” tanya mereka. (Setelah menjawab salam mereka) Aisyah berkata mempersilakan mereka (dari balik hijab), “Masuklah kalian.” “Kami semuanya?” tanya mereka. “Iya, kalian semua silakan masuk,” sahut Aisyah. Dan Aisyah tidak tahu kalau di antara keduanya ada Ibnuz Zubair. Ketika mereka sudah masuk ke kediaman Aisyah, Ibnuz Zubair masuk ke balik hijab untuk bertemu muka dengan bibinya (sementara Al-Miswar dan Abdurrahman tetap di balik hijab karena mereka bukanlah mahram Aisyah). Lalu ia merangkul Aisyah dan mulai meminta dengan bersumpah agar Aisyah mau berbicara lagi dengannya dan ia menangis. Al-Miswar dan Abdurrahman juga mulai angkat suara meminta dengan bersumpah agar Aisyah mau mengajak bicara keponakannya dan menerima maafnya. Keduanya berkata, “Sebagaimana yang telah Anda ketahui bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hajr seperti yang anda lakukan ini, karena beliau bersabda, ‘Tidak halal bagi seorang muslim menghajr saudaranya lebih dari tiga malam’.” Tatkala mereka terus-menerus mengingatkan Aisyah akan keutamaan menyambung silaturahim, memaafkan, dan menahan marah serta dosanya bila memutuskan silaturahim, mulailah Aisyah berbicara kepada keduanya dalam keadaan menangis. Aisyah berkata, “Aku telah bernadzar. Dan nadzar itu perkaranya berat.” Namun terus menerus keduanya memohon kepada Aisyah hingga akhirnya Aisyah mau berbicara dengan Ibnuz Zubair. Dan untuk menebus nadzarnya, ia membebaskan 40 orang budak. Bila ia mengingat nadzarnya setelah itu, ia menangis hingga air matanya membasahi kerudungnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6073, 6074, 6075) Berikut ini penjelasan para ulama tentang permasalahan yang menjadi pembicaraan kita: 1. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu, “Mengucapkan salam kepada para wanita dibolehkan, terkecuali bila wanita itu masih muda karena dikhawatirkan fitnah bila berbicara dengan mereka dengan adanya bujuk rayu setan atau pandangan mata yang khianat (lirikan mata yang diharamkan). Adapun bila wanita itu sudah lanjut usia maka bagus mengucapkan salam pada mereka karena aman dari fitnah. Ini merupakan pendapat ‘Atha` dan Qatadah, dan dipegangi oleh Al-Imam Malik serta sekelompok ulama rahimahumullah.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/195) 2. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Seorang lelaki ajnabi boleh mengucapkan salam kepada wanita ajnabiyyah bila jumlah wanita tersebut lebih dari satu (sekelompok wanita). Namun bila wanita tersebut hanya seorang diri maka yang boleh mengucapkan salam kepadanya adalah sesama wanita, suaminya, tuannya (bila si wanita berstatus budak) dan mahramnya, baik si wanita itu cantik atau tidak cantik. Adapun lelaki ajnabi diberikan perincian. - Bila si wanita itu sudah tua tidak mendatangkan selera lelaki terhadapnya, maka disenangi bagi lelaki ajnabi untuk mengucapkan salam kepadanya. Demikian pula sebaliknya si wanita disenangi untuk mengucapkan salam kepada lelaki tersebut. Siapa di antara keduanya yang mengucapkan salam terlebih dahulu maka yang satunya wajib menjawabnya. - Apabila wanita itu masih muda atau sudah tua namun masih mengundang hasrat, maka tidak boleh lelaki ajnabi mengucapkan salam kepadanya, dan sebaliknya si wanita pun demikian. Siapa di antara keduanya mengucapkan salam kepada yang lain (baik si lelaki ataukah si wanita) maka ia tidak berhak mendapatkan jawaban dan dibenci membalas salam tersebut. Yang demikian ini merupakan mazhab kami dan mazhab jumhur. Rabi’ah berkata, ‘Laki-laki tidak boleh mengucapkan salam kepada wanita (ajnabiyyah) dan sebaliknya wanita tidak boleh mengucapkan salam kepada laki-laki (ajnabi).’ Namun ini pendapat yang keliru. Orang-orang Kufah berkata, ‘Tidak boleh laki-laki mengucapkan salam kepada wanita bila tidak ada mahram si wanita di situ.’ Wallahu a’lam.” (Al-Minhaj, 14/374) 3. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu berkata, “Laki-laki boleh mengucapkan salam kepada wanita atau sebaliknya10 apabila aman dari fitnah.” Al-Halimi berkata, “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam aman dari fitnah karena beliau ma’shum (terjaga dari berbuat dosa). Maka siapa yang meyakini dirinya dapat selamat dari fitnah, silakan ia mengucapkan salam (kepada lawan jenisnya, pent.). Bila tidak, maka diam lebih selamat.” Ibnu Baththal berkata dari Al-Muhallab, “Salam laki-laki terhadap wanita dan sebaliknya, dibolehkan apabila aman dari fitnah. Pengikut mazhab Maliki membedakan antara wanita yang masih muda dengan yang sudah tua dalam rangka menutup jalan menuju kerusakan11. Adapun Rabi’ah melarang secara mutlak. Orang-orang Kufah berkata, ‘Tidak disyariatkan kepada wanita untuk memulai mengucapkan salam kepada laki-laki karena mereka dilarang mengumandangkan adzan, iqamah, dan mengeraskan bacaan di dalam shalat. Dikecualikan dalam hal ini bila laki-laki tersebut adalah mahram si wanita, karena boleh baginya mengucapkan salam kepada mahramnya.” Al-Hafizh rahimahullahu berkata lagi menukilkan ucapan Al-Mutawalli, “Bila seorang lelaki mengucapkan salam kepada istrinya atau wanita dari kalangan mahramnya atau budak perempuannya maka hukumnya sama dengan seorang lelaki mengucapkan salam kepada lelaki lain. Namun bila si wanita adalah ajnabiyyah (non mahram) maka perlu ditinjau dahulu. Kalau si wanita berparas cantik, dikhawatirkan laki-laki akan tergoda dengannya sehingga tidak disyariatkan memulai mengucapkan salam kepadanya ataupun menjawab salamnya. Bila salah seorang dari mereka (si laki-laki atau si wanita) mengucapkan salam terlebih dahulu kepada yang lain maka makruh menjawabnya. Namun kalau si wanita sudah tua di mana laki-laki tidak akan terfitnah dengannya maka boleh mengucapkan salam kepadanya.” Apabila berkumpul dalam satu majelis sejumlah laki-laki dan sejumlah wanita, boleh bagi kedua belah pihak mengucapkan salam bila memang aman dari fitnah. (Fathul Bari, 11/41, 42-43) Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu memberikan keterangan, “Mengucapkan salam kepada wanita yang merupakan mahram adalah perkara sunnah. Sama saja baik itu istri, saudara perempuan, bibi, ataupun keponakan perempuan. Adapun wanita ajnabiyyah, tidak boleh mengucapkan salam kepadanya kecuali bila wanita tersebut sudah tua dan aman dari fitnah. Bila tidak aman maka tidak boleh mengucapkan salam kepadanya. Namun bila seseorang mendatangi rumahnya dan mendapatkan di rumahnya ada wanita yang dikenali lalu ia mengucapkan salam maka tidak apa-apa asalkan aman dari fitnah. Demikian pula, wanita boleh mengucapkan salam kepada laki-laki ajnabi dengan syarat aman dari fitnah.” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/29) Ketika ditanyakan kepada Asy-Syaikh Abdullah bin Humaid rahimahullahu tentang hukum mengucapkan salam kepada wanita ajnabiyyah, beliau rahimahullahu menyatakan tidak apa-apa mengucapkannya dari kejauhan, tanpa berjabat tangan. Dan si wanita menjawabnya, karena suara wanita bukanlah aurat. Kecuali bila si lelaki menikmati suaranya (senang mendengar suara tersebut, merasa lezat karenanya dan menikmatinya), maka dalam keadaan seperti ini hukumnya haram. Karena si lelaki berarti terfitnah dengan wanita ajnabiyyah tersebut.” (Dari siaran radio acara Nurun ‘alad Darb, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/965, 966) Faedah: Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata, “Bila ada seseorang menukilkan salam dari orang lain untukmu, maka engkau menjawabnya dengan ucapan, ‘Alaihis salam.’ Namun apakah wajib bagimu menyampaikan pesan bila ada yang berkata, ‘Sampaikan salamku kepada si Fulan,’ ataukah tidak wajib? Ulama memberikan perincian terhadap permasalahan ini. Jika engkau diharuskan menyampaikannya maka wajib engkau sampaikan salam tersebut, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya.” (An-Nisa`: 58) Berarti engkau sekarang memikul kewajiban tersebut. Adapun bila orang itu berpesan kepadamu, ‘Sampaikan salamku kepada si Fulan,’ lalu ia diam tanpa ada ucapannya yang mengharuskanmu menyampaikan salamnya tersebut, atau ketika dipesani demikian engkau berkata, ‘Iya, kalau aku ingat,’ atau ucapan yang semisal ini, maka tidak wajib bagimu menyampaikannya terkecuali bila engkau ingat. Namun yang paling bagus, janganlah seseorang membebani orang lain dengan titipan salam ini, karena terkadang menyusahkan orang yang diamanahi. Hendaknya ia berkata, ‘Sampaikan salamku kepada orang yang menanyakanku.’ Ini ungkapan yang bagus. Adapun bila seseorang dibebankan maka tidaklah bermanfaat, karena terkadang ia malu darimu hingga mengatakan, ‘Iya, aku akan menyampaikannya,’ kemudian dia lupa atau berlalu waktu yang panjang atau semisalnya (hingga salam itu tidak tersampaikan).” (Syarh Riyadhish Shalihin, Ibnu ‘Utsaimin t, 3/19) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. 1 Para shahabat bergembira dengan hidangan tersebut karena dulunya mereka bukanlah orang-orang yang berpunya, kecuali setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala bukakan rizki untuk mereka dengan kemenangan-kemenangan dalam peperangan yang dengannya mereka beroleh ghanimah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأْخُذُونَهَا “Dan ghanimah-ghanimah yang banyak yang mereka ambil.” (Al-Fath: 19) Dengan kemenangan-kemenangan tersebut banyaklah harta, setelah sebelumnya mayoritas shahabat adalah dari kalangan fuqara. (Syarah Riyadhis Shalihin, 3/29-30) 2 Malaikat tentunya tidak dikatakan berjenis laki-laki sebagaimana mereka tidak dikatakan berjenis perempuan. Karena mereka adalah makhluk yang berbeda dengan manusia, walaupun Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan mereka dengan lafaz tadzkir (jenis laki-laki). Lalu kenapa Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu memasukkan hadits ini sebagai dalil tentang laki-laki mengucapkan salam kepada wanita? Jawabannya: Jibril ‘alaihissalam mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk seorang laki-laki.” (Fathul Bari, 11/42) 3 Hadits ini menunjukkan bolehnya laki-laki ajnabi mengirim salam untuk wanita ajnabiyyah yang shalihah, apabila tidak dikhawatirkan menimbulkan mafsadah (fitnah). (Al-Minhaj, 15/207) 4 Hal ini menunjukkan bolehnya seorang laki-laki mandi sementara di situ ada wanita dari kalangan mahramnya, asalkan auratnya tertutup dari si wanita. Juga menunjukkan bolehnya anak perempuan menutupi ayahnya ketika si ayah sedang mandi, baik menutupinya dengan kain atau selainnya. (Al-Minhaj, 5/239) 5 Ini menjadi dalil bahwa suara wanita bukanlah aurat dan bolehnya wanita mengucapkan salam kepada laki-laki yang bukan mahramnya sementara mahram si lelaki ada di tempat tersebut. (Al-Minhaj, 5/238) 6 Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata setelah menyebutkan hadits ini, “Lafadz ini dibawa kepada pemahaman bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan lafadz salam dengan lisan dan isyarat dengan tangan (mengucapkan salam disertai melambaikan tangan sebagai isyarat, pent.). Dan yang memperkuat pengertian ini adalah riwayat Abu Dawud, di sana disebutkan: lalu beliau mengucapkan salam kepada kami.” (Riyadhus Shalihin, hal. 275) Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menambahkan, “Karena salam dengan tangan saja (sekedar memberi isyarat dengan tangan, tanpa diucapkan lafadznya dengan lisan, pent.) adalah perbuatan yang terlarang, dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun menggabungkan keduanya tidak apa-apa, khususnya lagi bila yang disalami berada pada posisi yang jauh. Ia butuh melihat isyarat tangan hingga ia tahu bahwa saudaranya telah mengucapkan salam kepadanya, atau yang disalami adalah seorang yang tuli, tidak bisa mendengar, dan semisalnya. Dalam keadaan seperti ini, orang yang mengucapkan salam boleh menggabungkan ucapan salam dengan lisan dan isyarat dengan tangan.” Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu juga menyatakan, “Tidaklah diragukan bahwa perkara-perkara yang dijadikan sebagai pengganti salam merupakan penyelisihan terhadap As-Sunnah. Karena yang diajarkan As-Sunnah adalah seseorang mengucapkan salam dengan lisannya. Namun bila suaranya (ucapan salamnya, pent.) tidak terdengar, ia boleh menyertainya dengan isyarat tangan hingga menjadi perhatian orang yang posisinya jauh atau orang yang tuli.” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/20-21) 7 Ibu Abdullah adalah Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma, saudara perempuan Aisyah radhiyallahu ‘anha. 8 Kebiasaan Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau tidak pernah menahan sesuatu yang berupa rizki Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya melainkan disedekahkannya. Sekali waktu beliau menjual barang miliknya lalu harganya disedekahkan. Maka keponakannya ini mengkritik apa yang dilakukannya. 9 Bani Zuhrah adalah dari kalangan suku Quraisy, dan merupakan akhwal (paman dari pihak ibu) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 10 Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits-hadits di atas. 11 Argumen mereka adalah hadits Sahl radhiyallahu ‘anhu yang sudah kami bawakan di atas. Di antaranya Sahl berkata, “Kami punya (kenalan) seorang wanita tua….” Sementara laki-laki yang mengunjungi si wanita tua ini dan yang dijamunya bukanlah mahramnya. (Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=606) Filed in: Adab dan Akhlaq

@ Anak adalah Amanah

December 1, 2011 بسم الله الرحمان الرحيم Anak adalah Amanah Oleh: Al-Ustadz Ayip Syafruddin Menurut Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah rahimahullah dalam Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyah, nikmat terbagi dua; nikmat yang bersifat muthlak dan nikmat yang bersifat muqayyad (mengikat). Nikmat yang bersifat muthlak adalah nikmat yang akan mengantarkan seseorang pada kebahagiaan abadi, seperti kebahagiaan seseorang dalam berislam dan mengikuti sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman; وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَٰئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِم مِّنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا. “Dan barang siapa yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman sebaik-baiknya.” (An-Nisa:69). Adapun nikmat kedua yang bersifat terikat/terbatas adalah nikmat yang digambarkan dalam bentuk kesehatan, anak, kekayaan, dan istri shalehah. Menurut Ibnu Qoyyim rahimahullah, anak merupakan bentuk nikmat. Anak merupakan pemberian dari Allah Ta’ala. Pemberian ini merupakan amanah. Karenanya, setiap orang tua yang dikaruniai anak harus berusaha mengarahkan anak agar tetap terjaga fithrahnya. Yaitu, tetap terjaga tauhid atau keislamannya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda; كُلُّ مَوْ لُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَة فَأبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ “Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan diatas fithrah (bertauhid). Maka, kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR.Bukhori, no.1384 dan Muslim, no.2658, Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Pengertian fithrah adalah tahuhid, Seperti diungkapkan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah, bahwa penetapan kerububiyahan Allah adalah bersifat fithrah. Pendidikan yang salah akan menyebabkan perubahan arah pada anak. (lihat Aqidah At-Tauhid, hal:28). Maka, menjaga agar fithrah itu tetap ada merupakan kewajiban orang tua muslim. Inilah amanah terbesar yang harus ditunaikan para orang tua. Mengawal tauhid anak agar selamat, untuk hal ini para orang tua dituntut berusaha membekali anak dengan pendidikan islam yang baik dan benar. Ditengah pertarungan budaya yang teramat tajam, mendidik anak kearah yang dicitakan tentu tak mudah, memohon kepada Allah Ta’ala, berdo’a dengan kesungguhan seraya terus berusaha tentu sebuah langkah bijak. Menyadari anak sebagai amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawabannya adalah langkah awal menuju pendidikan yang baik dan benar. Tanpa kesadaran ini orang tua akan semaunya dalam mendidik anak. Tentunya, di iringi dengan kejahilannya, anak akan diantarkan pada taraf pendidikan yang sekedar bertujuan pragmatis, Cuma sekedar untuk duniawinya. Adapun akhirat, terlalaikan, tidak tersentuh sama sekali. Wallahu a’lam. Filed in: Anak dan Keluarga

@ Meraih Pahala yang tak Terbatas dengan Sabar


January 17, 2012 Oleh: Abu Umar Al Bankawy Sabar adalah salah satu karakteristik yang wajib dimiliki oleh seorang muslim. Di dalam Al Qur’an, Allah memerintahkan kita untuk bersabar. Allah berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (Ali Imran: 200) Apa itu sabar? Apa saja keutamaan sabar? Bagaimana pula cara agar bisa bersabar ketika mendapatkan musibah? Secara bahasa, makna sabar adalah menahan. Adapun secara syar’i, sabar bermakna menahan diri dalam tiga perkara: 1. Ketika menjalankan ketaatan kepada Allah. Seseorangnya hendaknya bersabar, sampai dia menunaikan apa yang Allah ta’ala perintahkan. 2. Dari bermaksiat kepada Allah Yaitu dengan tidak mengerjakan segala sesuatu yang Allah larang serta menjauhinya. 3. Ketika menghadapi musibah yang Allah takdirkan Yaitu dengan menahan diri untuk tidak murka atau menggerutu terhadap musibah yang menimpa baik dengan lisan, maupun dengan perbuatan. Keutamaan Sifat Sabar Sabar memiliki banyak keutamaan yang telah Allah ta’ala kabarkan di dalam Al Qur’an dan demikian juga di dalam sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara keutamaan tersebut adalah: 1. Berita gembira berupa pahala yang tak terbatas bagi orang-orang penyabar. Di dalam Al Qur’an, Allah ta’ala berfirman : إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu akan dipenuhi pahala mereka dengan tiada hitungannya.” (Az Zumar: 10) Allah juga berfirman: وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الأمْوَالِ وَالأنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ “Sesungguhnya Kami akan memberikan cobaan sedikit kepadamu semua seperti ketakutan, ketaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, kemudian sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al Baqarah: 155) Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di berkata di dalam tafsir beliau, “Barang siapa yang Allah beri taufiq untuk bersabar ketika terjadinya musibah-musibah ini maka dia pun menahan dirinya dari kemurkaan baik dalam ucapan maupun perbuatan, dan dia pun mengharapkan pahala dari sisi Allah. Dia pun mengetahui pahala yang dia peroleh lebih besar daripada musibah yang menimpanya, bahkan musibah tersebut telah menjadi sebuah kenikmatan baginya, karena musibah ini adalah telah menjadi jalan baginya untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik dan lebih bermanfaat baginya. Sesungguhnya orang yang bersabar telah menunaikan apa yang menjadi perintah Allah dan telah sukses meraih pahala. Oleh karena itu Allah lalu berfirman, وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ “Kemudian sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” Yaitu sampaikanlah berita gembira bahwa mereka telah memperoleh pahala yang tak terbatas (atas kesabaran mereka).” 2. Surga bagi orang yang bersabar . Allah berfirman ; إِنِّي جَزَيْتُهُمُ الْيَوْمَ بِمَا صَبَرُوا أَنَّهُمْ هُمُ الْفَائِزُونَ “Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang.” (Al Mu’minum: 111) Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ الله – عز وجل – ، قَالَ : إِذَا ابْتَلَيْتُ عبدي بحَبيبتَيه فَصَبرَ عَوَّضتُهُ مِنْهُمَا الجَنَّةَ “Sesungguhnya Allah ‘Azza wajalla berfirman: “Apabila Aku memberi cobaan kepada hambaKu dengan melenyapkan kedua perkara yang dia cintai (yakni kedua matanya), kemudian ia bersabar, maka untuknya akan Kuberi ganti surga karena kehilangan keduanya.” (HR. Al Bukhari) 3. Sabar adalah sebab pertolongan Allah Ta’ala berfirman, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ “Mintalah pertolongan dengan sabar dan mengerjakan shalat sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al Baqarah: 153) Kesabaran adalah sebab pertolongan terbesar dalam setiap perkara. Sesorang akan dapat meraih segala sesuatu asal dia bersabar. Dia dapat menjalankan ketaatan yang Allah perintahkan dengan tanpa beban, dan demikian pula dia bisa meninggalkan segala sesuatu yang Allah larang walaupun hal tersebut sangat menggoda hawa nafsunya. Dia tidak akan dapat melakukan ini semua tanpa kesabaran. 4. Sabar adalah Tanda Keimanan Di dalam hadits yang diriwayatkan sahabat Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, عَجَباً لأمْرِ المُؤمنِ إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خيرٌ ولَيسَ ذلِكَ لأَحَدٍ إلاَّ للمُؤْمِن : إنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكانَ خَيراً لَهُ ، وإنْ أصَابَتْهُ ضرَاءُ صَبَرَ فَكانَ خَيْراً لَهُ “Amat menakjubkan keadaan orang mu’min itu, sesungguhnya semua keadaannya itu adalah merupakan kebaikan baginya dan kebaikan yang sedemikian itu tidak akan ada lagi seorangpun melainkan hanya untuk orang mu’min itu belaka. Apabila ia mendapatkan kelapangan hidup, iapun bersyukur, maka hal itu adalah kebaikan baginya. Apabila ia ditimpa musibah, maka iapun bersabar dan hal inipun adalah merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim) Bagaimana Agar Bisa Bersabar Ketika Mendapatkan Musibah Termasuk pembahasan penting yang berkaitan dengan kesabaran adalah bagaimana caranya agar kita bisa bersabar ketika Allah timpakan musibah kepada diri kita. Beberapa perkara yang perlu dilakukan ketika ditimpa musibah adalah: 1. Menyadari bahwa semuanya telah ditakdirkan oleh Allah Di dalam hadits dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إنَّ أحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ في بَطْنِ أُمِّهِ أربَعِينَ يَوماً نُطْفَةً ، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذلِكَ ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذلِكَ ، ثُمَّ يُرْسَلُ المَلَكُ ، فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ ، وَيُؤْمَرُ بِأرْبَعِ كَلِمَاتٍ : بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ “Sesungguhnya setiap orang diantara kamu dikumpulkan kejadiannya di dalam rahim ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqoh(segumpal darah) selama waktu itu juga (empat puluh hari), kemudian menjadi mudhghoh (segumpal daging) selama waktu itu juga, lalu diutuslah seorang malaikat kepadanya, lalu malaikat itu meniupkan ruh padanya dan ia diperintahkan menulis empat kalimat: Menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan nasib celakanya atau keberuntungannya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim) Apabila seseorang memahami betul bahwa musibah yang menimpa adalah takdir yang telah Allah atur, maka akan lapanglah dadanya, dan terhindarlah dia dari kesedihan dan beban. 2. Mengoreksi Dosa-dosa yang telah dilakukan Salah satu perkara yang bisa membuat kita bersabar adalah mengoreksi dosa-dosa yang pernah kita perbuat. karena sesungguhnya musibah yang kita alami adalah buah perbuatan kita sendiri. sebagaimana firman Allah ta’ala: وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ “Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy Syura: 30) Dengan mengoreksi dosa-dosa, seseorang akan tersibukkan untuk bertaubat dan beristighfar, memohon ampunan kepada Allah. Ini semua akan melahirkan kesabaran pada dirinya. <3. Mengingat-ingat pahala yang Allah janjikan. bagi orang yang bersabar Hendaknya ketika ditimpa musibah dia mengulang-ngulang firman Allah, إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ “Sesungguhnya orang-orang yang bersabar itu akan dipenuhi pahala mereka dengan tiada hitungannya.” (Az Zumar: 10) Ini agar dia menyadari bahwa kesabarannya dalam menghadapi musibah akan diganjar kelak oleh Allah subhanahu wata’ala tanpa batas. Demikianlah sedikit pembahasan tentang sabar. Insya Allah pada kesempatan yang akan datang kita akan membahas tentang “kejujuran”, salah satu akhlaq mulia yang diajarkan dalam agama kita. Wallahu ta’ala a’lam. Referensi: – Syarh Riyadhis Shalihin, Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin – Taisir Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Filed in: Adab dan Akhlaq